Kunjungan Monitoring Buruh Migran Indonesia

Di Sabah

(Bahagian I)




Boni Sagi, staf Center for Indonesian Migrant Workers (CIMW) berkesempatan melakukan kunjungan monitoring Buruh Migran Indonesia (BMI) di Sabah pada 8 – 20 Agustus 2009. Kunjungan ini terlaksana berkat kerjasama dengan Keuskupan Sandakan, Paroki St. Dominic, Lahad Datu, Paroki Holy Trinity, Tawau serta Susteran Putri Reinha Rosari (PRR) di Nunukan.

Empat hari pertama di ‘Land Below the Wind’ (8-12/8/’09) – Sandakan

Kota Sandakan

Menurut John Baptis, Ketua Majelis Paroki Katedral St. Mary-Sandakan, Land Below the Wind adalah julukan Kota Sandakan sebagaimana diberi oleh Agnes Keith, sastrawan Inggris. Kota Sandakan memang cantik, apalagi jika ditengok dari kejauhan Tepekong besar di atas puncak bukit. Selain cantik, Sandakan juga sedang membangun dan berbenah diri. Julukan lain ‘the little Hong Kong’ masih menyisakan jejak-jejaknya. Barangkali dengan sejarah ini, bisa dipahami, Sandakan adalah ’kota multikultural’. Orang berkewarganegaraan Indonesia banyak dijumpai di sana terutama dari Indonesia timur (Adonara, Larantuka, Lembata, Solor, Ende, Manggarai).

Sempat melawat Tepekong besar

Pertemuan dengan Komiti Keluarga Besar Katolik Indonesia (KKBKI) Paroki St. Mark pada Minggu (9/8/09), mempertegas hal ini. Puluhan TKI dengan anak-anak mereka menghadiri pertemuan. Menurut Petrus Bala Bean (Ketua KKBKI), organisasi ini telah diresmikan pastor paroki pada 12 Juli 2009. Dialog terbuka siang hari itu mengidentifikasi tiga persoalan pokok yang dihadapi TKI di sana, sebagaimana dicatat oleh Frans Hayon (Sekretaris KKBKI). Tiga persoalan itu adalah: soal pasport/IC yang sampai saat ini belum diterima TKI sejak pemutihan setahun silam; soal pendidikan anak-anak yang tidak bisa bersekolah di sekolah Kerajaan Malaysia; dan soal gaji yang tidak sesuai dengan kontrak dan tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kunjungan lapangan dan pertemuan dengan TKI di Batu 8, Gum Gum Manis, Taman Buaya dan Batu 16, memperkuat identifikasi persoalan TKI di sana. Di Batu 16 banyak anak yang tidak bersekolah. Dan berangkat dari keprihatinan itu, ibu Emiliana, jemaat gereja st. Mark, merelakan waktu senggangnya mengajar anak-anak menulis, membaca dan mengira dasar. Gereja st. Mark bersama KKBKI juga membuka sekolah minggu yang juga mengajar anak-anak menulis, membaca dan mengira dasar. Seorang bapak, pada pertemuan di Batu 16 mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dasarnya serta keluarga dengan gaji kurang lebih RM12 sehari. Dan hal itu menjadi semakin berat, karena uang jaminan pasport juga mencekik.







Bersama komunitas/keluarga Indonesia di Batu Enam Belas – Sandakan (Senin, 10/8/09)

Pada Selasa (11/8/09) sore, CIMW bersama mama Margaretha Francis (bendahara KKBKI Gereja St. Mark) dan Joseph Sudirman (dari Manggarai-Flores), berkesempatan berjumpa dengan Uskup Julius Gitom (Uskup Sandakan). Uskup Julius sangat terbuka dengan kunjungan-kunjungan seperti ini, tidak hanya dari kalangan Katolik, tapi dari kalangan mana saja. Beliau mengatakan bahwa persoalan buruh migran adalah persoalan yang sangat kompleks dan membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk Ornop/NGO. Uskup Julius juga menceriterakan pengalamannya semasa Padre dan melayani di ladang-ladang (kamp). Ia menyatakan keprihatinannya atas kondisi kerja para buruh migran di ladang-ladang, serta gaji buruh yang hanya RM10/hari. Menurut Bishop, hal seperti ini sudah merupakan bentuk eksploitasi. Untuk urusan Gereja pun, persoalan buruh migran kadang rumit, terutama berkaitan dengan pembaptisan dan pernikahan. Ada pekerja migran yang di kampung halamannya sudah memiliki suami/istri; dan ketika dia merantau mendapatkan suami/istri baru. Hal ini membuat status perkawinan mereka bermasalah, demikian pun status anak-anak yang dilahirkan dari pasangan seperti ini. Ketika disinggung, apakah mungkin Keuskupan membentuk divisi pastoral khusus untuk pekerja migran, Uskup Julius mengatakan itu merupakan ide yang baik. Hanya saat ini belum terlaksana karena sedikitnya sumber daya Keuskupan. Keuskupan Sandakan baru dua tahun berdiri, dan masih banyak hal yang harus dikerjakan. Demikianpun soal kerjasama dengan keuskupan-keuskupan di Indonesia yang banyak jemaatnya merantau ke sana adalah ide yang baik, tapi membutuhkan waktu untuk merealisasikannya. Dengan latar belakang ini, menurut Uskup kehadiran pihak-pihak lain yang prihatin dengan berbagai segi persoalan pekerja migran ini dipandang sebagai hal yang positif. Uskup Julius berharap pemerintah Indonesia dan Kerajaan Malaysia bisa lebih intens membicarakan persoalan kemanusiaan pekerja migran dan menemukan solusi-solusi yang baik.





Kiri – Kanan: Francis Tan, Boni Sagi, Uskup Julius Gitom, Joseph Sudirman dan Margaretha Francis

Oleh Boni Sagi