Kunjungan Monitoring Buruh Migran Indonesia di Sabah (Bahagian III – Akhir)


Pertemuan dengan jemaat basis Batu Lapan

Empat hari di Nunukan dan Tawau (16-20/8/09)


Di Tawau, pak Gabriel Nunang sebagai ketua Keluarga Indonesia Paroki Holy Trinity menjadi organiser lapangan. Hari pertama, CIMW berjumpa dengan 50-an jemaat basis Batu Lapan yang sebagian besar adalah pekerja Indonesia dengan anak-anak mereka. Sebenarnya jemaat ini sedang akan mengikuti ibadat mingguan. Tapi kami menggunakan waktu satu jam sebelumnya untuk berdiskusi bersama. Banyak hal yang dibicarakan, terutama berkaitan dengan pasport/IC dan juga tentang sekolah anak-anak mereka yang tidak jelas. Di jemaat itu ada sekolah alternatif yang didukung Paroki Holy Trinity bagi anak-anak yang tidak bersekolah di sekolah formal untuk membaca, menulis dan mengira dasar. Dari sana kita ke rumah keluarga ibu Ros yang berasal dari Lembata. Rencananya kita akan berdoa bersama memperingati keluarga-keluarga bu Ros yang sudah meninggal. Di tempat bu Ros kita berjumpa 20-an orang Lembata, Adonara, Kupang dan Rote. Dalam acara keluarga ini, saya banyak mendengar tentang suka duka kehidupan di negeri jiran ini.



Bersama keluarga besar bu Ros di Batu Lapan
Bersama keluarga Mama Kembar dari Toraja di Pasar Tawau


Bersama Serjan Eddy dan pedagang dari Indonesia di Pasar Tawau

Bersama keluarga besar Indonesia di rumah pak Gabriel Nunang

(Tawau, 16-18/08/09)

Perjumpaan dengan puluhan saudara-saudari dari timur Indonesia pada acara perayaan ulang tahun perkawinan pak Gabriel dan keluarga memberi inspirasi tentang merayakan kehidupan di mana pun kita berada. Solidaritas dan kebersamaan menjadi semakin penting di tanah rantau. Dan kebersamaan dan solidaritas itu menjadi semakin bermakna ketika itu dipakai untuk membantu satu sama lain keluar dari persoalan bersama. Sebuah pertanyaan yang muncul dari pekerja migran Indonesia di sana adalah: mengapa biaya pembuatan paspor di Nunukan jauh lebih mahal dibandingkan jika paspor dibuat di Tawau? Ada keinginan dari saudara-saudari di sana untuk bisa bertemu muka langsung dengan Konsul ataupun pejabat-pejabat lain yang berkaitan dengan nasib mereka di tanah rantau, karena ada banyak hal yang ingin mereka sampaikan. Semoga ke depan apa yang diinginkan saudara-saudari ini bisa terwujud.

Bersama Pastor Dwija Iswara MSF dan bpk. Vincentius (dari Komisi Pastoral Migran Perantau Keuskupan Tanjung Selor) mengunjungi tempat penampungan pekerja Indonesia yang dideportasi dari Malaysia. (Nunukan, 19/08/2009)


Adalah kabar baik berjumpa dengan Sr. Silvia, Prr, cs dengan komunitas PRR di sekolahan Fransisko-Yashinta – Nunukan. Juga dengan Pastor Dwija Iswara, MSF dan bapak M. Vincentius dari Komisi Pastoral Migran Perantau Keuskupan Tanjung Selor. Percakapan-percakapan dengan beliau dan juga kunjungan-kunjungan lapangan yang dibuat bersama, a.l. ke bekas penampungan TKI yang dideportasi dan juga ke asrama sekolahan anak-anak TKI Fransisko-Yahinta, menegaskan betapa kompleksnya permasalahan TKI. Karena itu pemerintah Indonesia harus benar-benar serius menangani persoalan TKI ini. Jangan sampai istilah ”orang Indonesia menjual kepala orang Indonesia sendiri” sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Dwija, terus dilanjutkan. Tentu saja gereja atau pihak-pihak lain pun, termasuk Ornop/NGO, juga mesti mengambil bagian sesuai dengan porsinya masing-masing. Dan jauh lebih penting dari itu, diharapkan rakyat mampu mengurus dirinya sendiri.


Catatan Akhir


Melihat kompleksnya persoalan-persoalan yang dihadapi pekerja migran (Indonesia) dibutuhkan visi baru (baik dari negara pengirim maupun dari penerima) untuk mendukung kebijakan-kebijakan baru yang benar-benar merupakan artikulasi dari persoalan etis kemanusiaan. Hanya jika bertolak dari itu, perubahan sejati baru dapat terwujud. Perubahan yang berpihak pada keadilan dan partisipasi aktif dari setiap orang. Dan buahnya adalah pulihnya martabat kehidupan serta terwujudnya perdamaian. Perjalanan ini adalah bagian dari pengartikulasian ini. Terima kasih untuk semua pihak yang sudah dengan caranya sendiri membantu saya Melihat, Mendengar, Merasakan dan Mencatat (4M) terutama berhubungan dengan isu-isu pekerja migran (Indonesia) dalam lawatan ini.




Oleh Boni Sagi